blog inni kupersembahkan u/ org-org yng aku syggi "̮♡Hϱ ♡Hϱ ♡Hϱ ♡"̮ (¬˛¬”) (⌣́_⌣̀)ƪ('́⌣'̀ ) ,♬ ~(ˇ▼ˇ~)(~ˇ▼ˇ)~
Saturday, 17 September 2011
Friday, 16 September 2011
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
- Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani.2001)
- Epidemiologi
Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya. Dari total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor. Menurut Rinner, dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).
- Etiologi
- Kecelakaan lalu lintas
- Perkelahian
- Jatuh
- Cedera olahraga
- Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom
- Trauma benda tumpul
- Kecelakaan kerja
- Kecelakaan rumah tangga
- Patofisiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan perdarahan,baik perdarahan intracranial maupun perdarahan ekstrakranial..Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin, bradikinin,prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.
- Klasifikasi
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan morfologi cidera.
Berdasarkan Mekanisme :
a) Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul)
b) Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.
Berdasarkan Tingkat Keparahan :
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
a)Reaksi membuka mata (Eye responses)
Score 4: Membuka mata dengan spontan
Score 3: Membuka mata bila dipanggil
Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
b) Reaksi berbicara (verbal responses)
Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Score 4: Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang
Score3: Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk
kalimat
Score 2: Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
c)Reaksi Gerakan lengan / tungkai (motoric responses)
Score 6: Mengikuti perintah
Score 5:Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau
tempat
Score 4: Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Score 3: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Score 2: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Score 1: Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
a)Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
b) Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)
c)Cedera Kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)
Berdasarkan morfologi
a) Fraktur tengkorak
- Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.
- Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /
tanpa kelumpuhan nervus VII
b) Lesi intracranial
- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
2. Gejala Klinis
- Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap, kehilangan tonus otot.
- Perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
- Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
- Muntah proyektil, gangguan menelan
- Perubahan kesadaran bisa sampai koma.
- Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
- Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
- Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
- Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
- Cemas
- Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
- Sakit kepala atau nyeri kepala hebat.
3. Pemeriksaan Fisik
Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
- Keseimbangan tubuh.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Bladder : Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia).
Bone : Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
4. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
- CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
- MRI : sama dengan CT Scan
- Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
- EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
- PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
- Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.
- Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
- Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid.
- AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid.
- Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
- Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
- Komplikasi
- Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.
- Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa.
- Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
- Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal.
- Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
- Prognosis
Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas. Selain itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan di tengah perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema, kerusakan jaringan otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Prognosis pada cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap pada kondisi vegetative hanya 5-10%. Syndrome pascakonkusi berhubungan dengan sindrom nyeri kepala kronis, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali bertumpang tindih dengan depresi. Jadi prognosisnya buruk.
- Therapy/tindakan penanganan
- Larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
- Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
- Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis
- Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit
- Penatalaksanaan
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
- Skor skala koma Glasgow 15(sadar penuh, atensif, dan orientasi)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
- Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konkusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
- Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
- Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Pedoman penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut :
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis, kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :
- Hematoma epidural
- Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :
- Elevasi kepala 30o
- Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (PCO2 < 25 mmHg) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
- Berikan manitol 20% 1g/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
- Foto servikal jelas normal
- Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- Intoksikasi obat atau alkohol
- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala trauma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan dengan observasi di rumah meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasi ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi atau tekanan tekanan intrakranial yang meningkat.
- Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti perintah karena kesadaran menurun), harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-100 mmHg.
- Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
- Memasang alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan
- Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin. (biasanya hari ke-2 perawatan).
- Temperatur badan : demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotika) diberikan bila perlu.
- Antikejang : fenitolin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak mengalami kejang pemberian fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau secara ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
- Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu steroid hanya untuk dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6jam selama 48-72 jam).
- Profilaksis trombosis vena dalam : sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada ekstrimitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intrakranial.
- Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
- Antibiotik : penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisislin dapat mengurangi resiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
- CT Scan lanjutan : umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.
B. KONSEP ASUHAN DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
v Identitas Pasien dan Penanggung Jawab
- Nama
- Jenis kelamin
- Usia
- Status
- Agama
- Alamat
- Pekerjaan
- Pendidikan
- Bahasa
- Suku bangsa
- Dx Medis
- Sumber biaya
v Riwayat keluarga
- Genogram
- Keterangan genogram
v Status kesehatan
§ Status kesehatan saat ini
- Keluhan Utama (saat MRS dan saat ini)
- Alasan MRS dan perjalanan penyakit saat ini
- Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
§ Status kesehatan masa lalu
- Penyakit yang pernah dialami
- Pernah dirawat
- Alergi
- Kebiasaan (merokok/kopi/alcohol atau lain – lain yang merugikan kesehatan)
§ Riwayat penyakit keluarga
§ Diagnosa Medis dan Therapi
v Pengkajian fisik
Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cedera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
- Keseimbangan tubuh.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Bladder : Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia).
Bone : Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
v Pemeriksaan penunjang
Data laboratorium dan radiologi yang berhubungan :
- CT Scan (untuk mengidentifikasi adanya pergeseran jaringan otak)
- MRI (sama dengan CT Scan untuk mengetahui adanya lesi pada jaringan otak)
- EEG (untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis)
- Sinar X (mendeteksi adanya perubahan struktur tulang)
- GDA (mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK)
- CSS (dapat menduga kemungkinan adanya pendarahan subarakhnoid)
- Kimia/elektrolit darah (mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental)
v Data Subjektif
- Sesak nafas, nafas pendek.
- Mual, pusing, merasa tidak nyaman.
- Lemas.
- Terdapat nyeri, sakit kepala berat (nyeri kepala hebat).
v Data objektif
- Pola nafas tidak teratur, adanya sputum.
- Muntah proyektil.
- Tidak mampu melakukan aktivitas, perubahan gaya berjalan, keterbatasan gerak dan ROM.
- Robekan atau lesi pada kepala.
- Cemas, gelisah.
- Gangguan kesadaran.
- Bradikardi, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia, dispnea.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial dengan faktor resiko desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal, kegagalan ventilator.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi secret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
4. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
5. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema pada otak.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan metabolisme dan kemampuan mencerna.
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi serebral.
8. Cemas berhubungan dengan krisis situasional/perubahan status kesehatan.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit.
10. Resiko kekurangan volume cairan dengan factor resiko gangguan kesadaran dan disfungsi hormonal.
11. Resiko infeksi dengan factor resiko adanya luka terbuka, penurunan sistem pertahanan primer dan tindakan invasif.
3. Rencana Keperawatan
NoDx | Tujuan dan Kriteria hasil | Tindakan Keperawatan | Rasional |
1 | Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dengan criteria hasil : - Klien tidak mengeluh nyeri kepala - GCS :4,5,6 - Tidak terdapat papiledema - TTV dalam batas normal (Nadi : 60-100x/mnt, S = 36,5-37,5oC, TD =120/80mmHg, RR = 16-20) | Mandiri : 1. Kaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan.
2. Monitor tanda-tanda vital setiap 4 jam.
3. Evaluasi pupil amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya
4. Monitor temperature dan pengaturan suhu lingkungan.
5. Pertahankan kepala/leher dalam posisi netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
6. Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
Kolaborasi : 1. Pemberian O2 sesuai indikasi.
2. Berikan cairan intravena sesuai indikasi.
3. Berikan obat osmosis deuretik , analgesic, dan steroid
|
1. Menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2. Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fkultuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulatorkebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan TD, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3. Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III (okulomotorik) yang menunjukkan keutuhan batang otak, ukuran pupil menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial I dan II.
4. Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan menunjang peningkatan TIK/ICP (intracranial pressure).
5. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk meningkatan tekanan intracranial).
6. Dapat meningkatkan respon otomatis yang potensial menaikkan TIK.
1. Mengurangi hipoksemia, menyebabkan vasodilatasi serebral, volume darah dan menaikkan TIK.
2. Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema serebral peningkatan minimum pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.
3. Osmosis diuretik mengurangi edema serebral, analgesic mengurangi nyeri, steroid menurunkan inflamasi(radang).
|
2 | Setelah diberi asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat bernafas dengan efektif dengan criteria hasil : - Nafas pasien normal dan tidak ada gangguan pola nafas. | Mandiri : 1. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
2. Berikan posisi semifowler.
3. Monitor AGD.
4. Berikan oksigen sesuai program.
Kolaborasi : 1. Dengan tim kesehatan lain dengan dokter, radiologi dan fisioterapi dalam pemberian antibiotic,analgesic,fisioterapi dada dan konsul thoraks. |
1. Pernafasan yang tidak teratur menandakan adanya gangguan pernafasan pada otak. Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia
2. Memaksimalkan ekspansi paru.
3. Mempertahankan kadar PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal.
4. Meningkatkan suplai oksigen ke otak.
Kolaborasi : 1. Kolaborasi dengan tim medis kesehatan lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
|
3 | Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan adanya peningkatan keefektifan jalan nafas dengan criteria hasil : - Bunyi nafas ronkhi tidak terdengar. - Menunjukkan batuk yang efektif. - Tidak ada penumpukan secret di saluran pernapasan. | Mandiri : 1. Kaji keadaan jalan nafas.
2. Anjurkan klien mengenai teknik batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan secret di saluran pernapasan.
3. Atur/ubah posisi klien secara teratur setiap 2 jam.
4. Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
5. Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan |
1. Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan atau posisi dari endotracheal/trancheostomy tube yang berubah.
2. Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik serta mengurangi secret pada saluran pernapasan.
3. Mengatur pengeluaran secret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko atelektaksis.
4. Membantu mengencerkan secret dan mempermudah pengeluaran secret.
5. Penghisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-menerus dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
|
4 | Setelah diberi asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan rasa nyeri klien berkurang atau hilang dengan criteria hasil : - Pasien tampak rileks - Pasien tidak meringis - Skala nyeri 0 (10-0) |
Mandiri : 1. Kaji lokasi dan skala nyeri
2. Observasi TTV
3. Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
Kolaborasi : 1. Berika obat analgesic sesuai indikasi
|
1. Untuk menentukan rencana yang tepat.
2. Untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Untuk mengalihkan perhatian agar pasien tidak terfokus pada nyeri.
1. Membantu mengurangi nyeri. |
5 | Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan perfusi jaringan serebral menjadi adekuat dengan criteria hasil : - Kesadaran pasien compos mentis (GCS 15) - Tanda vital pasien stabil - Tekanan perfusi serebral lebih dari 60mmHg, TIK kurang dari 15mmHg - Fungsi sensori utuh atau normal. | Mandiri : 1. Kaji tanda-tanda vital
2. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
3. Monitor AGD, PaCO2 antara 35-45mmHg dan PaO2 lebih dari 80mmHg.
4. Anjurkan pasien untuk tidak menekuk lututnya atau fleksi,batuk,bersin dan mengejan.
Kolaborasi: 1. Berikan obat sesuai indikasi dan monitor efek samping
|
1. Mengetahui keadaan umum pasien
2. Tingkat kesadaran merupakan indikator yang terbaik adanya perubahan neurology.
3. Karbon dioksida menimbulkan vasodilatasi, adekuatnya oksigen sangat penting dalam mempertahankan metabolisme otak.
4. Dapat meningkatkan tekanan intra cranial.
1. Mencegah komplikasi lebih dini. |
6 | Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan criteria hasil : - Memperlihatkan kenaikan BB sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium, - Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh. | Mandiri : 1. Evaluasi kemampuan makan klien.
2. Observasi/timbang BB.
3. Berikan makanan kecil dan lunak.
Kolaborasi : 1. Aturlah diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien.
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan seperti : serum, trnsferin, BUN/Creatine dan Glukosa. |
1. Klien dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat menggunakan mag slang atau member makan parenteral.
2. Kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.
3. Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan dan mencegah gangguan pada lambung.
1. Diet TKTP, karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. Karbohidrat dapat berkurang dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi CO2 dan pengaturan isa respirasi.
2. Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.
|
7 |
Setelah diberi asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mobilitas kembali normal dengan criteria hasil : - Pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap. - Dapat mempertahankan gerakan sendi secara maksimal - Kekuatan otot pasien maksimal - Integritas kulit utuh. |
Mandiri : 1. Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2. Monitor fungsi motorik dan sensorik setiap hari
3. Lakukan latihan ROM secara pasif.
4. Ganti posisi tiap 2 jam sekali
5. Observasi keadaan kulit
6. Berikan perawatan kulit dengan cermat seperti massage dan memberi pelembab ganti linen atau pakaian yang basah.
Kolaborasi : 1. Koordinasikan aktivitas dengan ahli physioterapi. |
1. Mengidentifikasi masalah utama terjadinya gangguan mobilitas fisik.
2. Menentukan kemampuan mobilisasi.
3. Mencegah terjadinya kontraktur.
4. Penekanan terus-menerus menimbulkan dekubitus.
5. Mencegah secara dini dekubitus.
6. Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan dekubitus.
1. Kolaborasi penanganan physiotherapy.
|
8 | Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan rasa cemas klien berkurang dengan criteria hasil : - Klien dapat menunjukan penurunan kecemasan. - klien tampak tenang dan tidur/istirahat dengan baik
| Mandiri : 1. Monitor respon fisik seperti kelemahan, perubahan tanda vital, gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian respon verbal dan nonverbal selama komunikasi.
2. Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
3. Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi seperti pengaturan nafas dalam atau relaksasi progresif
|
1. Digunakan dalam mengevaluasi derajat/tingkat kesadaran/konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.
2. Memberikan kesempatan untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut dan mengurangi cemas yang berlebihan
3. Dapat mengalihkan perhatian dan menurunkan rasa cemas klien |
9 | Setelah diberi tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terdapat infeksi dengan criteria hasil : - Klien tidak mengalami infeksi. - Klien/keluarga mengenal factor-faktor resiko infeksi dalam pencegahan/mengurangi factor resiko infeksi. - Klien/keluarga dapat menunjukkan teknik meningkatkan lingkungan yang aman.
| Mandiri :
|
1. Intubasi, penggunaan ventilitator yang lama, kelemahan umum, malnutrisi merupakan factor-faktor yang menunjukkan terjadinya infeksi dan penyembuhan yang lama.
2. Mencegah infeksi nasokomial.
3. Adanya ronkhi atau wheezing menunjukkan adanya sekresi yang tertahan, yang memerlukan ekspektoran/section.
4. Mencegah infeksi |
10 | Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan klien dan keluarga paham tentang proses penyakit dan penyembuhan dengan criteria hasil : - mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, tindakan yang dibutuhkan dengan kemungkinan komplikasi. | Mandiri :
|
1. Kualitas hidup klien sangat dipengaruhi oleh pemakaian respirator atau ventilatobila tidak menggunakan dapat meningkatkan PCO2, dispnea, cemas, takikardia, berkeringat dan sianosis.
2. Mempertinggi penyembuhan dan kepercayaan, kebutuhan individu pada pertemuan mendatang.
3. Meningkatkan rasa aman tentang kemampuan untuk mengatasi keadaan darurat.
|
11
| Setelah diberi tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan cairan tubuh terpenuhi dengan criteria hasil :
- Intake dan output pasien seimbang. - Tidak ada tanda-tanda dehidrasi. - Tugor kulit dalam keadaan normal.
| Mandiri : 1. Monitor intake dan output cairan.
2. Monitor tanda dehidrasi : banyak minum, kulit kering, tugor kulit kurang, kelemahan,beat badan yang menurun.
3. Monitor hasil laboratorium, elektrolit, hematokrit.
4. Berikan cairan pengganti melalui oral /parienteral.
Kolaborasi : 1. Berikan cairan per infus jika diindikasikan
|
1. Mengetahui keseimbangan cairan.
2. Indikator kekurangan cairan.
3. Hematokrit yang meningkat berarti cairan lebih pekat.
4. Mengganti cairan yang hilang.
1. Mempertahankan volume sirkulasi dan tekanan osmotik |
4. Implementasi Keperawatan
(Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi dan kondisi klien)
- Evaluasi Keperawatan
No. Dx | Evaluasi |
1 | - Klien tidak mengeluh nyeri kepala - GCS :4,5,6 - Tidak terdapat papiledema - TTV dalam batas normal (Nadi : 60-100x/mnt, S = 36,5-37,5oC, TD =120/80mmHg, RR = 16-20) |
2 | - Nafas klien normal dan tidak ada gangguan pola nafas |
3 | - Bunyi nafas ronkhi tidak terdengar. - Menunjukkan batuk yang efektif. - Tidak ada penumpukan secret di saluran pernapasan. |
4 | - Pasien tampak rileks - Pasien tidak meringis - Skala nyeri 0 (10-0) |
5 | - Kesadaran pasien compos mentis (GCS 15) - Tanda vital pasien stabil - Tekanan perfusi serebral lebih dari 60mmHg, TIK kurang dari 15mmHg - Fungsi sensori utuh atau normal. |
6 | - Memperlihatkan kenaikan BB sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium, - Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh. |
7 | - Pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap. - Dapat mempertahankan gerakan sendi secara maksimal - Kekuatan otot pasien maksimal - Integritas kulit utuh. |
8 | - Klien dapat menunjukan penurunan kecemasan. - klien tampak tenang dan tidur/istirahat dengan baik |
9 | - Mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, tindakan yang dibutuhkan dengan kemungkinan komplikasi. |
10 | - Klien tidak mengalami infeksi. - Klien/keluarga mengenal factor-faktor resiko infeksi dalam pencegahan/mengurangi factor resiko infeksi. - Klien/keluarga dapat menunjukkan teknik meningkatkan lingkungan yang aman. |
11 | - Intake dan output pasien seimbang. - Tidak ada tanda-tanda dehidrasi. - Tugor kulit dalam keadaan normal |